Seputar Publik Merauke,dalam proses kreatif menulis jurnalistik selalu ada misteri yang sulit dijelaskan. Tetapi misteri itu bisa dirasakan.
Demikian penjelasan Mohammad Nasir wartawan senior Harian Kompas (1989- 2018), ketika menguji kompetensi wartawan (UKW) yang difasilitasi Dewan Pers di Merauke, Provinsi Papua Selatan, Sabtu (7/9/2024).
Menurut Nasir yang sedang menguji mata uji menyunting atau mengedit berita tulisan sendiri, peserta uji jangan mengira barita yang sudah ditulis sendiri tidak bisa diedit.
Setiap editor yang membacanya akan menemukan bagian yang perlu disunting supaya tulisan menjadi lebih baik.
“Walaupun tulisan sendiri kalau dibaca ulang, pasti ada yang perlu diedit, diperbaiki. Hasilnya harus lebih baik. Mari kita temukan,” pinta Nasir kepada peserta UKW.
Perbaikan bisa dilakukan pada pemilihan kata, struktur kalimat, logika bahasa, memperkaya tulisan dengan pengamatan, dan referensi.
“Letak misterinya di mana? Di sini kita bisa merasakan,” kata Nasir yang juga pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
Dimensi Tempat dan Waktu
Ketika kita menulis berita di rumah misalnya, lalu tulisannya kita bawa ke redaksi atau ke tempat lain dan dibaca kembali, kita akan merasa ada bagian tulisan yang kurang pas dan perlu diedit.
Begitu juga ketika dibaca ulang sendiri pada waktu berbeda, mungkin terbesit pikiran untuk mengubah tulisan, karena ada yang perlu diubah.
Misalnya tulisan jurnalistik ditulis tengah malam, ketika dibaca kembali siang hari, kadang-kadang diperlukan perubahan, atau editing.
“Beda waktu, beda tempat, beda pikiran, beda tulisan. Di sinilah letak misteri menulis,” tutur Nasir.
“Mungkin sudut pandang tulisannya kurang tepat, pemilihan kata kurang pas, atau ada informasi yang perlu ditambahkan. Bahkan kadang-kadang tulisan dirombak total,” kata Nasir yang tengah menguji di kelas peserta dari Lembaga Uji Kompetensi Wartawan (LUKW) Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama).(Yyt)