Seputarpublik, Jakarta – Ketua LSM Rakyat Indonesia Berdaya (RIB) Hitler P. Situmorang mendesak Kementerian ATR/BPN mau mengakomodir aspirasi masyarakat tani Simpang Raya Riau yang telah mengelola tanah terlantar sejak 1995, untuk memperoleh hak-hak hidupnya untuk mempertahankan hak hukumnya di negara tercintanya Indonesia.
Hal itu disampaikannya saat menggelar aksi damai di depan kantor Kementerian ATR/BPN Jakarta pada Jumat (21/10/2022).
“Aksi ini merupakan upaya dan ikhtiar kami dimana pada hari ini sebagai bagian dari perjuangan masyarakat tani Simpang Raya yang memperjuangkan hak-hak hidupnya untuk memperoleh keadilan dari Negara yang harus melindungi warganya, sehingga pihak-pihak terkait harus mengindahkan aturan yang ada,”ujarnya.
Pihaknya, kata Hitler, meminta Kementerian ATR/BPN Pusat untuk mengukur ulang HGU PT. Wanasari Nusantara nomor 2 Tahun 1995 dengan luas 2200 hektar yang diduga melebihi 700 hektar, cabut dan atau batalkan izin HGU PT. Wanasari Nusantara Nomor 2 Tahun 1997 dengan luas 2211 hektar dan nomor 3 Tahun 1997 dengan luas 905 hektar yang diduga cacat hukum atau cacat prosedur dan mencopot Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Kementerian ATR/BPN Pusat yang diduga tidak profesional dan atau berpihak pada perusahaan.
“Masyarakat tani tentu memerlukan tanah untuk memperoleh hak ekonominya untuk eksistensi kehidupannya, cukup beralasan jika masyarakat tani Simpang Raya Riau mengelola tanah terlantar sejak 1995 pada saat itu pun tidak ada keberatan dari pihak manaupun ketika masyarakat tani mengelola tanah tersebut menjadi tanah produktif yang ditanami komoditas kelapa sawit,”ungkap Hitler.
Dengan panjangnya persoalan hajat hidup masyarakat tani ini, kata Hitler, tentunya mendorong langkah-langkah penegakan hukum yang semestinya dijunjung oleh setiap warga negara tanpa terkecuali.
Menurut Syafi`i, salah satu masyarakat tani yang mencari keadilan hingga melaporkan permasalahan ini ke Kantor Staf Presiden pada Selasa 19 April 2022 yang saat itu diterima oleh staf KSP Sahat M Lumbanraja, Imanta Ginting, Stanislaus Demokrasi Sandywan yang memfasilitasi keluhan masyarakat tani untuk menyampaikan perrmasalahan agraria yang dialami masyarakat.
Dalam pertemuan tersebut disampaikan hal-hal yang dialami oleh masyarakat seperti intimidasi serta perusakan atas komoditas tanaman kelapa sawit yang telah tumbuh di tanah tersebut.
“Sejak tahun 1995 kami telah menanami tanah ini dengan kelapa sawit, karena yang kami ketahui tanah ini terlantar dan sejak saat itu tidak ada keberatan dari pihak manapun,”tutur Syafi’i.
Dari pengelolaan tanah tersebut ada dari beberapa orang dari masyarakat tani yang mendaftarkan tanahnya dan memperoleh sertifikat diantaranya oleh Tukiman Purba dan Karsiani yang juga pernah mengagunkan sertifikat tanahnya untuk memperoleh modal tani di BRI.
Dan kondisi ini pun telah memperoleh pengawasan dari Tim Pansus DPRD Riau dan pada tahun 2015 telah mengunjungi tanah objek sengketa dan pada tahun 2017 keluarlah hasail monitoring yang menyatakan tanah (objjek sengketa) berada di luar HGU PT. Wanasari.
Dan hal itu, juga diperkuat oleh Risalah pemeriksaan tanah B nomor 01.a/RSL/HGU/1994 tertanggal 5 Februari 1994 sebagai dasar penerbitan HGU No 3 Desa Simpang Raya Sungai Buluh atas nama PT. Wanasari Nusantara yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Indragiri Hulu tertanggal 29 Januari 1997 dengan luas 905 hektar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 29/HGU/BPN/1996 tertanggal 31 Juli 1996 yang menerangkan letak bidangnya berada di Desa Sungai Buluh sehingga letak HGU ini tidak sesuai dengan risalah tanah nomor 01.a/RSL/HGU/1994 bukan di Desa Simpang Raya yang telah ditanami warga masyarakat tani dengan komoditas kelapa sawit.
Adapun surat Keputusan Bupati Kuantan Senggigi nomor Kpts.92/II/2013 tertanggal 18 Februari 2013 tentang Izin Lingkungan kegiatan peremajaan perkebunan kelapa sawit dengan lahan seluas 2.200 Ha yang berlokasi di Desa Petai Baru Sungai Kuning Kecamatan Senggigi Sei Buluh Kabupaten Kuantan Senggigi Provinsi Riau yang jelas-jelan bukan berada di Desa Simpang Raya yang telah ditanami oleh masyarakat tani tersebut.
Pengelolaan lahan terlantar sejak 1995 oleh masyarakat tani Simpang Raya juga bukan tanpa izin dari lembaga yang berwenang, SK Menteri Pertanian tahun 1987 menyatakan bahwa tanah objek sengketa merupakan bagian dari lokasi Tir-Trans yang peruntukkan lokasi Tir-Trans tersebut adalah kebun plasma seluas 8800 hektar, kebun inti 2200 hektar, serta perkarangan dan pangan 2200 hektar.
Sehingga tidak adanya kesesuaian dengan kondisi di lapangan dimana PT. Wanasari dengan 3 sertifikat HGU dengan rincian 2200 hektar untuk perkebunan inti, 905 hektar yang menjadi tanah objek sengketa dan 2211 hektar yang sekarang juga dikuasai masyarakat berpotensi menimbulkan konflik.
(*/Ahmad Zarkasi)