Seputar Publik.com – Universitas Muhammadiyah Jakarta kembali menggelar pelatihan paralegal untuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan di perguruan tinggi di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis kampus Ciputat pada selasa-rabu 5-6 November 2024.
Kegiatan pelatihan ini merupakan kerja kolaboratif dengan Perguruan Attaqwa dan didukung sepenuhnya oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Skema Hibah Katalis tahun 2024.
Kegiatan diikuti 89 orang satuan tugas yang berasal dari 51 kampus yang berasal dari wilayah Jakarta dan Banten. Pelatihan dibuka langsung oleh Wakil Rektor IV, Dr. Septa Candra, dan menghadirkan Dr. Ati Kusmawati dan Dr. Khaerul Umam Noer dari UMJ, Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo dari Fakultas Hukum UI, dan Asma’ul Khusnaeny, Dahlia Madanih, dan Indah Sulastry dari Bale Perempuan.
Dalam sambutannya, Dr. Septa Candra menyambut baik pelaksanaan training paralegal, sebab hal ini dapat memperluas akses keadilan bagi korban.
Berbeda dengan upaya litigasi yang dilakukan oleh advokat, paralegal adalah masyarakat umum yang diberikan pengetahuan tentang dasar-dasar pendampingan dan hak-hak korban, sehingga keberadaan paralegal secara kuantitas diharapkan mampu memberikan pendampingan yang optimal bagi korban.
Menurutnya, training paralegal untuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan di kampus sudah sangat tepat. Sebab anggota satuan tugas di kampus tidak seluruhnya berasal dari fakultas hukum atau memiliki latar belakang hukum, padahal sesuai aturan kementerian, mereka diberikan mandat untuk menerima laporan dan melakukan pendampingan bagi korban.
Paralegal itu biasanya non litigasi, dan memang penanganan kasus di kampus itu non litigasi, terkecuali rekomendasinya memang terlapor terbukti melakukan kekerasan dan dibawa ke ranah hukum.
Beberapa kasus misalnya kekerasan seksual, sesuai UU TPKS tentu litigatif, namun tetap saja peran pendampingan korban harus dilakukan oleh satgas yang memahami dasar-dasar pendampingan. Itu sebabnya UMJ memiliki komitmen penuh dalam mendorong hadirnya kampus aman, salah satunya melalui penguatan kapasitas paralegal.
Dr. Septa Candra juga menyampaikan apresiasi kepada Perguruan Attaqwa yang telah menjadi mitra strategis bagi Universitas Muhammadiyah Jakarta dalam pelaksanaan program-program pencegahan dan penanganan kekerasan, baik di level pendidikan dasar dan menengah maupun pendidikan tinggi.
Tampil sebagai narasumber adalah Lidwina Inge Nurtjahyo dari Fakultas Hukum UI. Dalam paparannya lebih fokus pada bagaimana membangun sistem yang terukur dan baku melalui pembentukan prosedur operasional standar.
Menurutnya, hadirnya SOP sangat penting, karena SOP dapat menjadi acuan awal bagi satuan tugas dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Lebih jauh, Inge menjelaskan bahwa ada banyak SOP yang harus diatur, mulai dari penerimaan laporan, kerahasiaan laporan, penelaahan laporan, penggalian informasi dari pelapor, pemanggilan saksi dan terlapor, pengumpulan bukti, penyerahan rekomendasi, hingga tindaklanjut rekomendasi.
Menurutnya, meski tidak selalu muncul, kampus juga perlu membangun SOP untuk kasus-kasus khusus, misalnya bagaimana jika pelapor adalah penyandang disabilitas, atau bagaimana jika terlapor adalah penerima beasiswa LPDP, artinya ketika dia terbukti melakukan kekerasan dan diberikan sanksi, maka harus ada informasi ke LPDP. Atau misalnya terlapor adalah mahasiswa asing, maka tentu harus SOP koordinasi dengan kementerian terkait.
Di sisi lain, keberadaan SOP menjadi untuk menjadi satu tolok ukur dari penyelenggaraan tata kelola yang baik. Sebagai prosedur operasional, SOP itu tidak mutlak tidak dapat direvisi.
Misalnya, kampus telah memiliki SOP sesuai Permendikbudristek 30/2021, maka dengan hadirnya Permendikbudristek 55/2024, kampus harus segera menyusun ulang regulasi dan SOP implementasinya.
Tidak hanya mendengarkan paparan, peserta training juga diminta berdiskusi untuk menyusun enam SOP, yang mencakup SOP pelaporan, pengumpulan buktiu, pemanggilan dan pemeriksaan para pihak, rekomendasi, pemberian layanan konseling, hingga mekanisme perujukan.
Diskusi dilakukan secara antusias, di mana masing-masing kelompok mempresentasikan hasilnya dan mendapatkan umpan balik dari narasumber maupun kelompok lain.
Pelatihan ini diharapkan tidak hanya memberikan pengetahuan dan pengayaan bagi anggota satuan tugas, namun juga dapat memperkuat jejaring kerjasama dan kolaborasi lintas sektor guna mendorong akselerasi ekosistem kampus aman dari kekerasan.
(Zarkasi)