Seputarpublik, Jakarta – Innalillahi wainnailaihi roji’un, masyarakat Betawi kembali kehilangan tokoh terbaiknya. Hari ini Babe Abdul Chaer, tokoh Betawi sekaligus ahli bahasa dan pakar linguistik Indonesia meninggal dunia pada Selasa (13/9/2022) pukul 18.17 WIB di kediamannya Jl Taman Malaka Utara 4 Blok D No 24, Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Babe Abdul Chaer menghembuskan nafas terakhirnya genap di usianya yang ke 82 tahun.
Almarhum dikenal sebagai ahli bahasa sekaligus penulis, Babe Abdul Chaer banyak menghasilkan karya, berupa buku pengantar kebahasaan hingga kamus.
Kepenulisannya yang khas membuat buku-bukunya kerap kali menjadi acuan bagi mahasiswa. Khususnya yang memilih program studi Bahasa Indonesia.
Pria kelahiran Jakarta, 8 November 1940 ini memperoleh gelar sarjana pendidikan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta (dulu masih bernama IKIP) sekarang menjadi UNJ, pada tahun 1969. Kemudian ia mengikuti post graduate study bidang Linguistik (1979-1977) di Rijksuniversiteit, Leiden, Belanda.
Sebelum tinggal di Jl. Taman Malaka Utara IV Blok D8 No 24 Malaka Sari, Duren Sawit Jakarta Timur, Almarhum sempat tinggal di depan mulut Gang Buaya 2 sekitar Kuburan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, Abdul Chaer merupakan linguis yang juga berkontribusi besar terhadap bahasa Betawi. Ia sempat menulis empat kamus dan 41 buku yang mengulas tentang bahasa Betawi. Misalnya, Kamus Dialek Jakarta dan Folkor Betawi.
Pensiunan lektor mata kuliah Linguistik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 lalu.
Mendalami Bahasa Betawi
Sejak menyusun kamus Dialek Melayu Jakarta – Bahasa Indonesia pada 1976 lalu, Abdul Chaer mulai mendalami budaya Betawi. Salah satunya dipicu oleh teman sejawatnya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang memperlihatkan adanya kamus bahasa Betawi- Jerman yang telah dibuat oleh orang Jerman.
Kamus yang ditulis oleh bangsa lain itu tentu saja memacu Abdul Chaer sebagai anak Betawi yang harus menyusun kamus bahasa ibunya. Pada perjalanannya menyusun kamus tersebut, ia menemukan varian yang kaya dari dialek Betawi.
Misalnya, Dialek Betawi di Ciputat yang berbeda jauh dengan dialek Betawi di Tanah Abang dan dialek Betawi di daerah Karet Kubur.
Ungkapan “berapah” yang mengacu pada dialek Ciputat, “berapeu” yang mengacu pada dialek Tanah Abang, dan “berape” yang mengacu dialek Karet Kubur. Hadirnya beragam variasi dialek tersebut dalam menyusun kamus dialek Betawi membuat Abdul Chaer memutuskan menggunakan salah satu dialek yakni Karet Kubur.
Kemudian, sebagai orang yang peduli terhadap bahasa dan kebudayaan Betawi, ia juga telah menulis buku-buku sebagai berikut: Kamus Dealek Jakarta (Edisi I, 1976, Nusa Indah; Edisi II, 2009, Masup Jakarta); Ketawa Ketiwi Betawi (Kumpulan Humor Betawi), Masup Jakarta, 2007; Kamus Ungkapan dan Peribahasa Betawi, Masup Jakarta, 2009; Cekakak-Cekikik Jakarta (Kumpulan Humor Jakarta), Rineka Cipta, 2011; Kebijakan dan Politik dalam Ketawaan (Kumpulan Humor), Rineka Cipta, 2012; Folklor Betawi, Masup Jakarta, 2013; dan Betawi Tempo Doeloe, Masup Jakarta, 2015.
Sebagai orang yang peduli pada bahasa dan kebudayaan Betawi, ia telah menerima penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta (2002);
Etnikom Award dari Persatuan Radio-Radio Swasta Sumatera Selatan, Banten, Jakarta dan Jawa Barat (2002); dan Anugerah Budaya sebagai Budayawan dari Gubernur DKI Jakarta (2011). Buku Tenabang Tempo Doeloe ini dipersiapkan sejak akhir 2013 untuk menjadi kenangan pada kehidupan di kampung-kampung di Tenabang dulu; dan menjadi renungan bahwa pembangunan besarbesaran di Tenabang, mungkin juga di seluruh Jabodetabek, banyak tidak memberi kesejahteraan bagi penduduk asli negeri ini.
Selamat jalan Babe Abdul Chaer, Semoga segala amal ibadahmu diterima di sisi Allah.
Dan semua karya – karyamu akan selalu dikenang. (*/hel)