Seputarpublik, Jakarta – Bung Karno pernah mengatakan pemberontakan PETA yang dipimpin Sodancho Supriyadi pada 14 Februari 1945 di Blitar, Jawa Timur merupakan pelopor perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun ironis, kisah pemberontakan tentara PETA yang fenomenal karena berani melawan tentara pendudukan Jepang yang sangat kuat terlupakan sejarah. Masyarakat indonesia terutama generasi milenialnya lebih mengenal tanggal 14 Februari sebagai hari Valentine Days ketimbang momen hari bersejarah pemberontakan PETA bagi bangsa Indonesia.
Pemberontakan PETA itu sendiri berawal dari tak tahannya Sodancho Supriyadi melihat penderitaan rakyat akibat adanya romusha. Shodanco Supriyadi kemudian merencanakan pemberontakan bersama Muradi dan Cudanco Dr. Ismagil sebagai penasihat pada Daidan Daidan di Jawa Timur seperti, Tulung Agung, Kediri, Malang, Madiun, Surabaya, dan sebagainya.
Sodancho Supriyadi terjun langsung memimpin pemberontakan dengan membombardir pos pos markas dan Daidan daidan yang dikuasai oleh jepang. Akibat serangan mematikan dari para pejuang PETA dibawah komando Sodancho Supriyadi, Jepang pun merasa kewalahan. Lalu dengan segala cara berusaha untuk melemahkan pemberontakan.
Muradi diminta oleh Jepang untuk menghentikan perlawanan, Muradi setuju namun dengan syarat ia dan pasukannya tidak dilucuti senjatanya dan juga tidak diadili. Jepang pun setuju syarat tersebut. Muradi pun lalu menyerah. Namun ternyata Muradi ditipu, Jepang melanggar perjanjian dan menangkap Muradi serta pasukannya lalu membawanya ke Jakarta untuk diadili.
Anggota PETA yang diadili oleh jepang berjumlah 55 orang, terdiri dari 2 Cudanco, 8 Sodancho, 33 Budancho, dan 12 Giyuhey, 6 diantaranya mendapatkan hukuman mati.
Sementara Sodancho Soepriyadi sang pemimpin pemberontakan hilang, hingga saat ini belum jelas rimbanya, apakah sudah gugur atau masih hidup?
Komentar